Daerah Asal Pembuat Batik di Indonesia cukup banyak berdasarkan
Sejarah Batik Indonesia akan tetapi seiring perkembangan jaman lambat laun daerah asal pembuat batik Indonesia semakin sedikit. Dari yang sedikit inilah penulis mencoba merangkum
Jenis Batik Indonesia berdasarkan Daerah Asal Pembuatnya
Supaya tidak kelamaan baca, langsung saja.
* Batik Pekalongan
Sejarah Batik di Pekalongan dimulai dari pasca peperangan dan perpecahan di lingkungan kerajaan Mataram yang waktu itu dipimpin oleh rajanya Panembahan Senopati. Peperangan melawan kolonial belanda maupun perpecahan di antara lingkungan kraton memang kerap kali terjadi, hingga pada suatu saat kondisi yang paling parah menyebabkan banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru antara lain ke Pekalongan. Keluarga-keluarga kraton yang memang telah mempunyai tradisi batik dan mengungsi inilah yang mengembangkan pembatikan ke daerah pengunsian di Pekalongan.
Di daerah Pekalongan tersebut akhirnya batik tumbuh dengan pesat seperti di Buaran, Pekajangan dan Wonopringgo. Keluarga kraton yang mengungsi dan membawa pengikut-pengikutnya ke daerah baru itu, dan ditempat itu kerajinan batik terus dilanjutkan dan kemudian menjadi pekerjaan untuk mata pencaharian. Corak batik di daerah baru ini disesuaikan pula dengan keadaan daerah sekitarnya.
Sampai awal abad ke-XX proses pembatikan yang dikenal ialah batik tulis dengan bahan morinya buatan dalam negeri dan juga sebagian import. Setelah perang dunia kesatu baru dikenal pembikinan batik cap dan pemakaian obat-obat luar negeri buatan Jerman dan Inggris.
Pada awal abad ke-20 pertama kali dikenal di Pekajangan ialah pertenunan yang menghasilkan stagen dan benangnya dipintal sendiri secara sederhana. Beberapa tahun belakangan baru dikenal pembatikan yang dikerjakan oleh orang-orang yang bekerja disektor pertenunan ini.
Pertumbuhan dan perkembangan pembatikan lebih pesat dari pertenunan stagen dan pernah buruh-buruh pabrik gula di Wonopringgo dan Tirto lari ke perusahaan-perusahaan batik, karena upahnya lebih tinggi dari pabrik gula. Bahan-bahan yang dipakai untuk kainnya hasil tenunan sendiri dan bahan catnya dibuat dari pohon seperti: mengkudu, pohon tom, soga Jawa, dan sebagainya.
* Batik Cirebon (Megamendung)
Batik
Cirebon atau Batik Megamendung sejarahnya berdasar pada buku dan seni
sastra yang ada kerap memfokus pada asal usul masuknya bangsa Cina ke
daerah Cirebon. Kejadian ini tidak mengcengangkan karena pelabuhan Muara
Jati di Cirebon adalah tempat berlabuh para imigran dari luar dan dalam
negeri. Terlihat nyata dalam sejarah, bahwa Sunan Gunung Jati yang
menebarkan agama Islam di area Cirebon pada abad 16, menikahi Ratu dari
Cina, Ong Tien. Beberapa karya seni yang diangkat dari Cina seperti
keramik, piring dan kain berhiaskan gambar awan.
Dalam paham
Taoisme, ilustrasi awan berati dunia atas. Lukisan awan merupakan
gambaran dunia lebar, bebas dan mempunyai arti Ketuhanan. Konsep tentang
awan juga penting di dunia Islam pada abad 16, yang dipakai Sufi untuk
seperti alam bebas.
Ijab kabul Sunan Gunung Jati bersama Ratu Ong
Tien menjadi perantara masuknya budaya Cina ke Kerajaan Cirebon.
Sejumlah pembatik keraton memakai budaya Cina ke dalam motif batik yang
mereka bikin, tapi tidak lupa dengan sentuhan Cirebon, jadi ada
ketidaksamaan antara motif megamendung dari Cina dan yang dari Cirebon.
Misalnya, pada motif megamendung Cina, gores awan menyerupai bulatan,
beda yang dari Cirebon, gores awannya lonjong.
Sejarah batik di
Cirebon juga terikat dengan pertumbuhan gerakan tarekat yang kabarnya
berpusat di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Membatik pada mulanya
dikerjakan oleh anggota tarekat yang mengabdi di keraton sebagai sumber
ekonomi untuk membiayai kelompok tarekat tersebut. Para pengikut tarekat
tinggal di desa Trusmi dan sekitarnya. Desa ini terletak kira-kira 4 km
dari Cirebon menuju ke arah barat daya atau menuju ke arah Bandung.
Oleh sebab itu, hingga sekarang batik Cirebon identik dengan batik
Trusmi.
Unsur Motif Batik Megamendung
Motif megamendung
yang pada mulanya sering berunsurkan warna biru diselingi warna merah
melukiskan maskulinitas dan suasana dinamis, sebab dalam metode
pembuatannya ada campur tangan laki-laki. Kaum laki-laki anggota
tarekatlah yang pada mulanya merintis tradisi batik. Warna biru dan
merah tua juga melukiskan psikologi masyarakat pesisir yang lugas,
terbuka dan egaliter.
Selain itu, warna biru juga disebut-sebut
menyimbolkan warna langit yang luas, bersahabat dan tenang juga
menyimbolkan pembawa hujan yang dinanti-nantikan sebagai pembawa
kesuburan dan pemberi kehidupan. Warna biru yang dipakai mulai dari
warna biru muda hingga dengan warna biru tua. Biru muda menyimbolkan
makin cerahnya kehidupan dan biru tua menyimbolkan awan gelap yang
berisi air hujan dan memberi kehidupan.
Dalam pertumbuhannya,
motif megamendung mengalami banyak peningkatan dan dimodifikasi sesuai
permintaan pasar. Motif megamendung digabungkan dengan motif hewan,
bunga atau motif lain. Sebenarnya kombinasi motif seperti ini sudah
dilakukan oleh para pembatik tradisional dari dulu, tetapi
perkembangannya menjadi sangat pesat dengan adanya campur tangan dari
para perancang busana. Selain motif, warna motif megamendung yang
mulanya biru dan merah, sekarang berkembang menjadi beragam macam warna.
Ada motif megamendung yang berwarna kuning, hijau, coklat dan
lain-lain.
* Batik Jogja
Seni Batik Tradisional dikenal sejak beberapa abad yang lalu di tanah Jawa. Bila kita menelusuri perjalan perkembangan batik di tanah Jawa tidak akan lepas dari perkembangan seni batik di Jawa Tengah. Batik Jogja merupakan bagian dari perkembangan sejarah batik di Jawa Tengah yang telah mengalami perpaduan beberapa corak dari daerah lain.
Perjalanan “Batik Yogya” tidak bisa lepas dari perjanjian Giyanti 1755. Begitu Mataram terbelah dua, dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, busana Mataram diangkut dari Surakarta ke Ngayogyakarta maka Sri Susuhunan Pakubuwono II merancang busana baru dan pakaian adat Kraton Surakarta berbeda dengan busana Yogya.
Di desa Giyanti, perundingan itu berlangsung. Yang hasilnya antara lain , Daerah atau Wilayah Mataram dibagi dua, satu bagian dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB II di Surakarta Hadiningrat , sebagian lagi dibawah kekuasaan Kanjeng Pangeran Mangkubumi yang setelah dinobatkan sebagai raja bergelar Ngersa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Ngalaga Ngabdul Rachman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang jumeneng kaping I , yang kemudian kratonnya dinamakan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Semua pusaka dan benda-benda keraton juga dibagi dua. Busana Mataraman dibawa ke Yogyakarta , karena Kangjeng Pangeran Mangkubumi yang berkehendak melestarikannya. Oleh karena itu Surakarta dibawah kekuasaan Sri Paduka Susuhunan PB III merancang tata busana baru dan berhasil membuat Busana Adat Keraton Surakarta seperti yang kita lihat sampai sekarang ini.
Ciri khas batik gaya Yogyakarta , ada dua macam latar atau warna dasar kain. Putih dan Hitam. Sementara warna batik bisa putih (warna kain mori) biru tua kehitaman dan coklat soga. Sered atau pinggiran kain, putih, diusahakan tidak sampai pecah sehingga kemasukan soga, baik kain berlatar hitam maupun putih. Ragam hiasnya pertama Geometris : garis miring lerek atau lereng , garis silang atau ceplok dan kawung , serta anyaman dan limaran.Ragam hias yang bersifat kedua non-geometris semen , lung- lungan dan boketan.Ragam hias yang bersifat simbolis erat hubungannya dengan falsafah Hindu – Jawa ( Ny.Nian S Jumena ) antara lain :
- Sawat Melambangkan mahkota atau penguasa tinggi .
- Meru melambangkan gunung atau tanah ( bumi )
- Naga melambangkan air , Burung melambangkan angin atau dunia atas.
- Lidah api melambangkan nyala atau geni.
Sejak pertama sudah ada kain larangan. Setiap Sultan yang bertahta berhak membuat peraturan baru atau larangan-larangan.Terakhir, Sri Paduka Sultan HB VIII membuat peraturan baru ( revisi ) berjudul Pranatan dalem bab namanipun peangangge keprabon ing Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, yang dimuat dalam Rijksblad van Djokjakarta No 19. th 1927, Yang dimaksud pangangge keprabon ( busana keprabon ) adalah:
- Kuluk ( wangkidan )
- Dodot / kampuh serta bebet prajuritan
- Bebet nyamping ( kain panjang )
- Celana sarta glisire ( celana cindhe , beludru , sutra , katun dan gelisirnya )
- Payung atau songsong.
- Motif batik larangan : Parang rusak ( parang rusak barong , parang rusak gendreh)
Semua putra dalem diperbolehkan mengenakan kain-kain tersebut di atas. Busana batik untuk Permaisuri diperbolehkan sama dengan raja. Garwa ampeyan dalem diizinkan memakai parang rusak gendreh kebawah. Garwa Padmi KG Pangeran Adipati sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan KG Pangeran Adipati diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah. Demikian pula putra KG Pangeran Adipati. Istri para Pangeran Putra dan Pangeran Putra Raja yang terdahulu ( Pangeran Putra Sentananing Panjenengan dalem Nata ) sama dengan suaminya. Garwa Ampeyan para Pangeran diperbolehkan memakai parang rusak gendreh ke bawah. Wayah dalem ( cucu Raja ) mengenakan parang rusak gendreh ke bawah. Pun Buyut dalem ( cicit Raja) dan Canggah dalem ( Putranya buyut ). Warengipun Panjenengan dalem Nata ( putra dan putri ) kebawah diperbolehkan mengenakan kain batik parang – parangan harus seling , tidak diperbolehkan byur atau polos. Pepatih dalem ( Patih Raja ) diperkenankan memakai parang rusak barong kebawah. Abdidalem : Pengulu Hakim , Wedana Ageng Prajurit , Bupati Nayaka Jawi lan lebet diperkenankan mengenakan parang rusak gendreh kebawah. Bupati Patih Kadipaten dan Bupati Polisi sama dengan abdidalem tersebut diatas. Penghulu Landrad , Wedana Keparak para Gusti ( Nyai Riya ), Bupati Anom , Riya Bupati Anom , parang rusak gendreh kebawah.Abdidalem yang pangkatnya dibawah abdi dalem Riya Bupati Anom dan yang bukan pangkat bupati Anom, yakni yang berpangkat Penewu Tua.
* Batik Solo
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan
kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam
beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa
kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman
kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja
berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik
rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad
ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya
batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah
perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan
penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa
adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan
ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang
menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu.
Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya
untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena
banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian
batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya
masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan
selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya
untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya
pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari,
baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu
adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan
asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu,
tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta
garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Jaman Majapahit Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan
Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo
adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa
dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit.
Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung
Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali
dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah
Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal
dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit
daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak
mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh
Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan
disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka
petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan
tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara
lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari,
Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di
Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang
dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang
ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila
tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang
dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal
bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat
di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya
dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia
dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik
Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi,
pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha
kebanyakan kecil usahanya.
Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul kembali sampai Jepang masuk
ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang kegiatan pembatikan lumpuh
lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah revolusi dimana Mojokerto
sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama
dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna
coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad
yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga
mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran
Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan
batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan
Yogyakarta, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa
perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih
dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
* Batik Bali
Memang masih relatif baru, namun perkambangan industri batik di
Pulau Bali
begitu pesat. Barangkali karena Bali menyimpan banyak potensi motif dan
desain lokal. Puluhan desain batik khas Bali telah lahir. Dari yang
berharga murah hingga yang selangit. Sejauh ini, harga pasaran rata-rata
batik tulis yang beredar di Bali
Bali yang berkualitas bagus
berkisar antara Rp 350 ribu hingga Rp 2 juta. Tingginya harga tersebut
karena batik-batik tersebut dibuat dari kain bermutu dan digambar
langsung dengan tangan serta menggunakan bahan pewarna alami seperti
yang dibuat oleh Ida Ayu Pidada (dengan merek “Batik Wong Bali”) atau
oleh A.A. Inten Trisna Manuambari (dengan merek “Diamanta”).
Batik sendiri merupakan hasil kerajinan yang telah menjadi bagian
dari budaya Indonesia sejak berabad-abad lalu, khususnya di Jawa.
Istilah “batik” konon berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti
menulis dan “nitik”yang berarti membuat titik. Secara bebas, kata
“batik” merujuk pada teknik pembuatan corak dan pencelupan kain dengan
menggunakan bahan perintang warna berupa malam (wax), yang diaplikasikan
di atas kain. Dalam bahasa Inggris teknik ini dikenal dengan istilah
wax-resist dyeing. Teknik ini hanya bisa diterapkan di atas bahan yang
terbuat dari serat alami seperti katun, sutra, dan wol. Jika ada kain
batik yang pembuatan corak dan pewarnaannya tidak menggunakan teknik di
atas kain tersebut dinamakan kain bercorak batik, bukan kain batik. Kain
macam itu biasanya dibuat dalam skala industri dengan teknik cetak.
Di Bali, industri kerajinan batik dimulai sekitar dekade 1970-an.
Industri tersebut dipelopori antara lain oleh Pande Ketut Krisna dari
Banjar Tegeha, Desa Batubulan, Sukawati – Gianyar, dengan teknik
tenun-cap menggunakan alat tenun manual yang dikenal dengan sebutan Alat
Tenun Bukan Mesin (ATBM). Kerapnya orang Bali mengenakan batik untuk
berupacara –sebagai bahan kain maupun udeng (ikat kepala), mendorong
industri batik di pulau ini terus berkembang dang maju. Kini di Bali
telah tumbuh puluhan industri Batik yang menampilkan corak-corak
khas Bali, juga corak-corak perpaduan Bali dengan luar Bali seperti Bali-Papua, Bali-Pekalongan, dan lain-lain.
Sebenarnya masih banyak daerah Indonesia yang menjadi pusat pembuatan batik yang sekaligus menjadi ciri khas untuk daerah tersebut. Berhubung penulis belum mendapatkan refferensi yang meyakinkan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka penulis menganggap 5 daerah itu cukup untuk mewakili Postingan Jenis Batik Indonesia berdasarkan Daerah Asal Pembuatnya. Semoga bermanfaat.